Sunday, April 26, 2009

The Perfumed Garden of the Cheikh Nefzaoui: A Manual of Arabian Erotology




Via Kewlshare.com



or

Via Depositfiles.com



The Perfumed Garden by Sheikh Nefzaoui is a sex manual and work of erotic literature. The full title of the book is The Perfumed Garden for the Soul's Recreation (al-Rawď al-'āţir bi-nuzhat al-khāţir).
The name of the sheikh has become known to posterity as the author of this work, which is the only one attributed to him.

The book was translated into English (from a French edition) in 1886 by Sir Richard Francis Burton as The Perfumed Garden of the Cheikh Nefzaoui: A Manual of Arabian Erotology.

According to Burton, from the historical notice contained in the first leaves of the manuscript, and notwithstanding the apparent error respecting the name of the Bey who was reigning in Tunis, it may be presumed that this work was written in the beginning of the sixteenth century, about the year 925 of the Hijra.

As regards the birthplace of the author, it can be deduced from his name, considering the Arab naming practice of joining the name of their birth-place to their own, that he was born at Nefzaoua, a town situated in the district of that name on the shore of the lake Sebkha Melrir, in the south of the kingdom of Tunis.

The Sheikh himself records that he lived in Tunis, and it is most probable the book was written in that city. According to tradition, a particular motive induced him to undertake a work entirely at variance with his simple tastes and retired habits.
Burton mentions that he considers that The Perfumed Garden can be compared with the works of Aretin and Rabelais, of the book Conjugal Love. But what he believes makes The Perfumed Garden unique as a book of its kind is "the seriousness with which the most lascivious and obscene matters are presented".

Burton points out that not all of the ideas in The Perfumed Garden are original. For instance, all the record of Moçama and of Chedja is taken from the work of Mohammed ben Djerir el Taberi; the description of the different positions for coition, as well as the movements applicable to them, are borrowed from Indian works; finally, the book Birds and Flowers by Azeddine el Mocadecci seems to have been consulted with respect to the interpretation of dreams.

Wednesday, April 22, 2009

KADO PERNIKAHAN UNTUK ISTRIKU




Terdiri dari tiga jendela, buku ini menghadirkan tuntunan Islam dengan penuturan yang menggugah.

Jendela pertama menyajikan uraian tentang berbagai masalah sebelum menikah. Ada pembahasan tentang meminang, pertimbangan untuk mengiyakan atau menolak pinangan, membedakan antara menyegerakan dan tergesa-gesa hingga soal perintah agama untuk memudahkan perkawinan dan meringkankan mahar.

Bagi pengantin baru, tentu Anda sangat perlu membaca jendela kedua. Dimulai dengan pembahasan akad nikah, Anda akan menemukan bahasan penting bagaimana memasuki malam zafaf. Malam pertama. Tuntunan Islam membimbing Anda agar malam pertama berlalu dengan barakah dan sekaligus mengguratkan kesan yang sangat mendalam.

Jendela ketiga penting untuk siapa saja yang ingin memelihara cinta dan perkawinan. Di dalamnya ada bahasan cerdas tentang komunikasi suami-istri, termasuk bagaimana mengelola konflik agar berakhir dengan kebaikan.

Daftar Isi "Kado Pernikahan Untuk Istriku"

Dari Penerbit
Dari Penulis
Ucapan Terima Kasih
Mukadimah
Pernikahan Itu Agung
Jendela Pertama:
Sebelum Sampai Ke Akad Nikah
Bagian Satu:
Kupinang Engkau Dengan Hamdalah
Bab 1: Kupinang Engkau Dengan Hamdalah
Bab 2: Mempertimbangkan Pinangan
Bab 3: Mengenai Sumber Informasi dan Perantara
Bab 4: Selama Proses Berlangsung
Bab 5: Antara Menyegerakan dan Tergesa-gesa
Bagian Dua:
Mencapai Pernikahan Barakah
Bab 6: Dimanakah Wanita-wanita Barakah Itu?
Bab 7: Undangan-undangan Mubazir Itu...
Bab 8: Awalnya Dari Niat
Jendela Kedua:
Sejak Akad Nikah dan Malam Pertama
Bagian Satu:
Maka, Ia Menjadi Istrimu
Bab 9: Memasuki Malam Zafaf
Bab 10: Masa Pengantin Baru
Bab 11: Tinggal Dimana Setelah Menikah?
Bagian Dua:
Saat-saat Indah Bersama Suami
Bab 12: Saat Tepat Untuk Berhias
Bab 13: Keindahan Suami Istri
Bab 14: Keindahan yang Lebih Besar
Jendela Ketiga:
Rumah Tangga Pasca Nikah
Bagian Satu:
Menjaga Rumah Kita
Bab 15: Biarlah Engkau yang Tercantik di Hatiku
Bab 16: Komunikasi Suami Istri
Bagian Dua:
Membawa Keluarga Ke Masa Depan
Bab 17: Komunikasi Kita dan Pendidikan Anak
Bab 18: Keasyikan yang Menghancurkan Keluarga Kita
Bagian Tiga:
Persoalan Rumah Tangga
Bab 19: Konflik dan Perceraian
Bab 20: Poligami
Epilog
Tuhan, Dimana Fathimatuz Zahra Sekarang?
Pamit Penulis

Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam



Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.

Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.

Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar, “Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya --dan yang paling penting-- adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam-- termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.

Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih "ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun" (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.

Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? ...yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana...” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.

Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).

Posisi Ijba’
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.

Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.

Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.

Dikutip dari : http://the-dark-knights.blogspot.com/

Cincin Pinangan Adab Pernikahan Islami




Hendaknya kedua mempelai yang telah berikrar untuk mengikat tali perkawinan yang suci dan luhur, berniat untuk memelihara kehormatan diri dari perbuatan yang terlarang, karena hubungan keduanya merupakan shadaqah bagi keduanya. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar, berkata, “Beberapa orang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala yang disediakan Allah. Mereka shalat seperti kami, puasa seperti kami, dan mereka juga mampu memberi shadaqah dengan harta yang banyak.

Rasulullah SAW menjawab, “Bukanlah Allah pun telah memberikan kesempatan kepada kalian untuk bershadaqah? Tiap ucapan tasbih adalah shadaqah, tiap ucapan takbir adalah shadaqah, tiap ucapan tahlil adalah shadaqah, begitu pula ucapan tahmid. Tidak hanya itu, segala usaha yang menyeru umat kejalan kebaikan termasuk shadaqah, melarang orang melakukan kemunkaran adalah shadaqah, bahkan jika kalian bercampur dengan istri-istri kalian…”

Tuntunan Lengkap Pernikahan berikut Tuntunan Nabi dalam Masalah Seks



Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Carilah kekayaan di dalam pernikahan, karena Allah berfirman: ‘Jika mereka miskin, Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nur: 32).” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (Lihat Tafsir Ibnu Katsir (5/ 94-95, cetakan Darul Andalus).

Di dalam buku ini akan dibahas secara lengkap tentang tata cara pernikahan, mulai dari memilih calon istri, nazhar (melihat calon istri), meminang, adab malam pertama, sampai masalah hak dan kewajiban suami-istri. Buku ini merupakan gabungan dari kitab Al-lnsyirah fi Adabin Nikah karya Abu Ishaq Al-Huwaini dan kitab Zaadul Ma’ad juz 4 karya Ai-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak dengan seksama terjemah buku karya seorang ulama ahli hadits abad keduapuluh yang saat ini berdomisili di negeri Mesir, Abu Ishaq Al-Huwaini Al-Atsari. Beliau merupakan salah satu murid Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Judul asli buku beliau adalah Al-Insyirah fi Adabin Nikah. Kami sengaja menggabungkan penerbitan buku ini dengan tulisan Al-lmam Ibnul Qayyim rahimahullah yang kami petik dari kitab beliau yang berjudul Zaadul Ma’ad pada bab khusus yang berjudul: Petunjuk Nabi saw dalam Masalah Seks. Tujuan kami adalah untuk melengkapi agar lebih banyak manfaat dan memperluas wawasan kita dalam masalah ini.

Catatan : File ini berekstensi *.djvu, hanya bisa dibaca oleh DjVu Reader. Klik disini untuk download DjVu Reader.

Sexuality In Islam




Arguing that Islam is a lyrical view of life in which sexuality enjoys a privileged status, this work represents an attempt to integrate the religious and the sexual. It examines the problem of whether this harmony of sexuality and religious faith is achieved in practice. Drawing on both Arabic and Western sources, the author describes the place of sexuality in the traditional Islamic view of the world. Beginning with the Qur'an, Professor Bouhdiba confronts the question of male supremacy in Islam, and the strict separation of the masculine and the feminine. He gives an account of purification practices, of Islamic attitudes towards homosexuality, concubinage, legal marriage, and of the sexual taboos laid down by the Qur'an. He assesses contemporary sexual practice, including eroticism, mysogyny and mysticism, and concludes that the ideal Islamic model of sexuality has been debased.